Jakarta, radarbahtera.com – Seorang pria di Jambi berinisial A, warga Desa Durian Betekuk, Kabupaten Merangin didenda satu ekor kerbau. Denda ini diberikan setelah A ketahuan menebang pohon tanpa izin di hutan adat Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi.
Selain seekor kerbau, masyarakat Guguk juga menjatuhkan denda berupa beras 250 gantang, 200 butir kelapa serta selemak semanis. Sidang adat penyerahan denda ini dilakukan awal September 2020 di Balai Adat Desa Guguk.
Sopian Hadi, ketua Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Guguk menyampaikan kejadian berawal dari kecurigaan masyarakat Guguk yang tinggal di tepi Sungai Nilo, sungai yang memisahkan permukiman masyarakat dengan hutan adat. Sungai yang airnya mengalir jernih menjadi keruh dan terdapat potongan-potongan kayu yang dihanyutkan.
Kejadian pada Juli 2020 itu langsung dilaporkan kepada dirinya. “Kami menemukan bekas kayu yang ditebang beserta papan kayu yang sudah digesek. Tapi tidak ada pelakunya di lokasi,” kata Sopian, Kamis (3/9).
Setelah sebulan melakukan penelusuran, masyarakat Guguk menemukan pelaku penebangan. Denda diserahkan, dan dilakukan pemotongan dan pengolahan denda pada tanggal 31 Agustus 2020. Pada sidang adat, seluruh sajian hasil denda telah disusun dengan rapi di balai adat. Sidang adat digelar, dan diakhiri dengan makan bersama.
Sopian mengatakan, denda adat ini tertuang dalam aturan pengelolaan hutan adat Guguk, tidak boleh melakukan penebangan tanpa izin dan syarat yang sangat ketat. Aturan pengelolaan dan sanksi pelanggaran tertuang dalam Piagam Kesepakatan Pemeliharaan Dan Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, 9 Mei 2003.
Selain itu, juga tertera di Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Desa Guguk. Kedua produk hukum desa ini lahir setelah keluarnya Surat Keputusan dari Bupati Merangin Nomor 287 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk seluas 690 hektare.
Dalam menjalankan aturan pengelolaan, masyarakat Guguk mengedepankan aturan adat dibandingkan hukum pidana. Ada keyakinan bahwa permasalahan di desa bisa diselesaikan secara adat. Namun jika cara adat menemui jalan buntu, pilihan terakhir adalah hukum pidana.
“Kami akan melaporkan kasus ini ke Polisi jika terdakwa tidak mau membayar sanksi adat. Namun untungnya masalah ini bisa selesai secara adat,” kata Sopian.
Sementara itu, Ade Candra, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menyampaikan, mereka sejak awal melakukan pendampingan panjang kepada masyarakat Guguk untuk memperoleh hak kelola hutan adat. Kawasan hutan yang dijaga dan dirawat masyarakat itu, tahun 1990-an sempat digunakan perusahaan HTI.
Masyarakat Guguk masuk dalam Marga Pembarap. Kelompok masyarakat Pembarap mendapatkan izin kelola dari Kesultanan Jambi jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat Guguk memiliki bukti-bukti sejarah tentang keberadaan mereka di wilayah itu. Bukti ini yang menjadi dasar pengakuan hak kelola hutan adat Guguk, dan mendapatkan pengesahan dari Bupati Merangin.
“Sangat kita apresiasi bagaimana masyarakat Guguk menjalankan tradisi mereka dan mampu mempertahankan hutan di tengah gempuran yang sangat kuat pada kawasan-kawasan hutan tersisa,” kata Ade dalam rilis Warsi, Kamis (3/9).
Secara ekologi, hutan adat Guguk ini penting untuk mencegah longsor dan banjir, serta kaya keanekaragaman hayati. Dari penelitian Warsi, di hutan ini ditemukan 89 jenis burung, 37 jenis diantaranya dilindungi seperti Rangkong Gading (Baceros vigil), Kuau Raja (Argusianus argus). Juga ditemukan 22 jenis mamalia beberapa diantaranya dilindungi seperti Harimau Sumatra, Tapir (Tapirus indicus) dan Beruang (Helarctos malayanus).
Di Hutan ini juga ditemukan 84 jenis kayu. Seperti Meranti, Balam dan Marsawa mempunyai diameter lebih dari 55 centimeter, bahkan ada yang berdiameter tiga bentangan tangan orang dewasa.
Sumber : www.cnnindonesia.com