Jakarta, radarbahtera.com — Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa meminta program Belajar di Rumah di TVRI digunakan untuk melatih orang tua mendampingi siswa dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Menurutnya, orang tua juga perlu diberikan bimbingan oleh Kemendikbud agar mampu mendampingi anaknya belajar di rumah.
“Perlu dibantu supaya ada ketercapaian [pendidikan]. Mau disederhanakan seperti apa kurikulumnya, tapi pendamping terbesar orang tua. Program TVRI khusus untuk orang tua itu bisa dilakukan,” ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Mendikbud di DPR, Senayan, Kamis (3/9).
Menurutnya, Kemendikbud tidak hanya perlu melatih guru, tetapi juga orang tua murid. Meskipun kondisi mengajar jarak jauh mendadak dilakukan, katanya, guru sudah memiliki kemampuan mengajar.
Hal ini berbeda kondisinya dengan orang tua yang tidak memiliki latar belakang atau kemampuan mengajar secara formal. Padahal, orang tua berperan sebagai pengganti guru selama PJJ.
BACA JUGA : 7 Program Prioritas Pendidikan Mendikbud Nadiem di Tahun 2021
Di kesempatan yang sama, Ledia juga meminta Nadiem memperhatikan ekonomi keluarga mahasiswa selama pandemi Covid-19.
Ia menyarankan bantuan ekonomi diberikan kepada mahasiswa di luar peserta program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) dan beasiswa Bidikmisi.
“Saya pandang bantuan UKT terutama untuk mahasiswa bukan dalam bentuk KIP dan Bidikmisi, tapi bantuan UKT harus diperhatikan. Kalau tidak ingin banyak mahasiswa yang putus kuliah karena tidak ada biaya,” lanjutnya.
Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan KIPK dan Bidikmisi diterima 1.095.000 mahasiswa di tahun 2021 dan 7.252 mahasiswa ditargetkan menerima Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADiK). Sedangkan Program Indonesia Pintar ditargetkan menyasar 17.927.992 siswa.
Untuk tahun anggaran 2021, Kemendikbud menganggarkan dana sebesar Rp9,6 triliun untuk Program Indonesia Pintar dan Rp10 triliun untuk KIPK. Dana ini masuk ke dalam kategori anggaran pembiayaan pendidikan dengan total Rp27,26 triliun.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengakui banyak yang mengkritik kebijakannya yang banyak memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru untuk berinovasi.
BACA JUGA : Yudi Latif Kritik Pendidikan yang Latah Revolusi Industri 4.0
“Banyak saran dan kritik kemerdekaan tidak bisa efektif kalau kualitas SDM tidak memadai,” dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI, Kamis (3/9).
Nadiem mengatakan pihaknya menyadari kebebasan berinovasi baru bisa dilakukan jika guru memiliki kompetensi yang memadai. Untuk itu, ia ingin fokus mengembangkan program guru penggerak.
Guru penggerak adalah program pelatihan guru yang dicetuskan pada masa jabatan mantan bos Go-jek itu. Melalui program ini, ia ingin mencari guru dengan kompetensi tinggi dan memberikan pelatihan untuk menjadi pemimpin.
Setelah lulus program ini, guru bisa mengajar menjadi guru penggerak di sekolah, atau menimba karir menjadi kepala dan pengawas sekolah jika dinilai mumpuni.
Dan jika dalam satu sekolah terdapat kepala sekolah yang berasal dari guru penggerak, serta jumlah guru penggerak yang signifikan, Nadiem menjelaskan sekolah itu disebut sekolah penggerak.
“Sekolah yang jadi contoh dan tempat pelatihan bagi sekolah-sekolah di sekitarnya. Yang membedakan bukan fasilitas. Tapi sekolah penggerak punya rasio penggerak yang signifikan,” katanya.
Ia pun berharap upaya ini dapat memunculkan banyak sekolah penggerak. Sehingga dirinya bisa memberikan kebebasan kepada guru dan kepala sekolah yang mumpuni dalam menciptakan inovasi baru.
Kritik terhadap kebijakan Nadiem datang dari berbagai pihak, mulai dari guru dan pemerhati pendidikan. Mereka menilai menteri muda tersebut keliru memberikan banyak kebebasan kepada sekolah dalam kondisi krisis pendidikan di tengah pandemi.
Misalnya ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ) pertama kali diterapkan. Nadiem banyak dikritik karena tidak segera mengeluarkan kurikulum darurat dan hanya menerbitkan instruksi melalui surat edaran.
Source : www.cnnindonesia.com